Sabtu, 28 Mei 2011

tulus


“Hari ini memberi sedekah kepada kaum duafa, orang kismin, madesu, kecebong amis bernama TB sebesar sepuluh ribu rupiah.” Kata Bang Majid Musawaroh sambil menulis dibuku catatan amalnya. (Sebuah adegan dalam Drama Seri “Islam KTP” yang disiarkan salah satu TV swasta nasional)

Dalam sebuah diskusi ringan di kampus beberapa tahun lalu dengan topic “ membiasakan memberi”, terjadi perdebatan yang seru. Masalahnya muncul ketika salah seorang teman mengatakan bahwa kita tidak boleh memberi sedekah kepada seorang pengemis. Itu membuatnya tidak kreativ, menjadi malas, dan akan mengemis seumur hidup nya. Teman lain menceritakan pengalamannya bahwa di tempatnya ada seorang yang memiliki keterbatasan fisik, mengandalkan hidupnya pada pemberian orang lain, namun juga gemar berjudi. Uang taruhannya berasal dari sedekah para dermawan yang miris melihat keterbatasan fisiknya.

Pada situasi ini, haruskah kita tetap murah hati memberi? Padahal pemberian kita akan membuat sang pengemis bertambah malas. Begitu juga dengan orang yang terbatas fisiknya, pemberian kita digunakan untuk berjudi.

Ketika memberi sesuatu apapun bentuknya, apa yang kita inginkan?  Seseorang berterima kasih atas pemberian kita? Orang yang kita beri harus membalas dengan apapun kepada kita? Atau hanya memberi kemudian melupakannya? Barangkali kita memang ingin memberi sesuatu karena kita ingin orang itu menerima pemberian kita?  Atau kita ingin memberi agar dicatat malaikat sebagai amal kebaikan kita? Bekal kita menuju surga?

Ketika kita memberi sesuatu kepada seseorang, kita ingin orang tersebut memakainya, menjaganya, merawatnya. Sebaliknya, ketika kita mendapatkan kebalikanya, apa yang kita rasakan? Ketika pemberian kita itu tidak dijaga, tidak dirawat, bahkan tidak dipakai, sakit hatikah kita?

Pengalaman lain. Ketika kita menerima sesuatu apa yang ada dibenak kita? “Ah orang ini pasti ada maksud lain dari pemberiannya. Dia pasti ingin membuatku terkesan dengan kebaikannya. Lalu suatu saat ketika dia menginginkan sesuatu dariku, pasti semua pemberiannya ini ditagih lagi.” Atau: “Mungkin saya sekedar lewat karenanya diberi juga. Terima kasih. Ini semua karena memang kamu baik Aku tidak tahu apa ini sekedar basa-basi atau? Setidaknya kamu menawariku ini. Aku ingin menolaknya juga sekedar basa-basi, tapi bagaimana jika kamu menginginkannya? Bagaimana jika kamu ingin saya menerima pemberian itu?. Apakah dia tulus dengan pemberiannya itu?”

Akhir dari diskusi tersebut akhirnya disepakati bahwa, tidak peduli digunakan untuk apa pemberian kita. Itu kebebasan yang diberi. Itu tanggung jawab moril yang diberi kepada dirinya dan Pencintanya. Yang kita lakukan adalah hanya memberi.

Berilah dan Lupakanlah. Dan terimalah dengan senang hati sambil berterima kasih ketika menerima sesuatu. Kita tidak tahu, seberapa tulus pemberian seseorang. Ukuran itu jauh terletak didalam hati si pemberi. Hanya yang punya hati dan Tuhan yang tahu.
Ketulusan itu juga terletak pada saat kita membebaskan segala prasangka kita pada seseorang saat kita menerima sesuatu. Inilah ukuran ketulusan yang kita tahu. Ukuran ketulusan yang juga tidak bisa kita sembunyikan dari Tuhan.. ( Kragilan, 11 02 11, 09.52)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar