Didalam cara-cara mencapainya, Ibu Teresa dari Calcuta mencantumkan salah satu point penting untuk kerendahan hati adalah “Jangan Berusaha Untuk Dikagumi dan Dicintai”.
Ketika untuk kali pertama membaca ini, alis saya serta-merta terangkap bertanya kenapa?
Apakah berusaha untuk dikagumi dan dicintai dapat menjadikan seseorang tinggi hati? Menjadi takabur dan sombong? Apakah berusaha untuk dicintai dan dikagumi dapat membuat seseorang kehilangan kepekaanan hatinya?
Paradoksial memang, ketika cinta mensyaratkan untuk diperjuangkan, berhadapan dengan jangan berusaha untuk dicintai dan dikagumi dari kerendahan hati. Pernah dengar “cinta ditolak dukun bertindak?” Inilah tanda bahwa seorang pejuang cinta dapat saja gelap mata menghalalkan segala cara untuk mendapatkan cintanya. Mungkin saja saya berpikir bahwa jika cara haram dihalalkan dalam rangka memperjuangkan cinta bisa diterima sebagai sesuatu yang keliru, maka sah- sah saja. Tapi bagaimana jika usaha untuk dicintai dan dikagumi yang halal pun tidak di-rekomendasi-kan oleh kerendahan hati?
Ibu Mungil dengan cinta sebesar kehidupan di bumi ini tentu punya alasan yang sangat kuat ketika memasukan point ini dalam perjuangannya menjadi rendah hati. Barangkali para pengikutnya paham benar apa motifasi dasar yang menjadi landasan perilaku mereka. Tapi bagaimana dengan saya yang awam? Haruskah kerendahan hati sebagai nilai yang patut untuk diperjuangkan mengalahkan usaha lebih besar tuk mendapatkan balasan cinta dari seseorang? Bukankah juga manusiawi jika saya berusaha agar cinta saya mendapatkan balasan cinta juga?
Mencintai adalah pengalaman universal paling misterius. Membahasnya sama saja dengan menanggalkan lapisan demi lapisan kehidupan. Membicarakannya berarti menyinggung segala yang kasat maupun yang nyata, lintas galaksi, tak terbatas ruang maupun waktu. Cinta itu sangat kompleksa namun bisa juga sangat sederhana. Bahkan mungkin saja lebih sederhana dari “mengurai harumnya mawar dengan kata-kata”. Siapa yang sanggup?
Barangkali Ibu Teresa benar. Bahwa cinta yang universal dan misterius inilah salah satu alasan yang kuat untuk “menguji” seseorang dalam menjadi rendah hati. Pengalaman mencintai yang misterius itu membuat banyak orang kehilangan pikiran. Benar! Karena mencintai itu tanpa alasan. Diluar rasio. Tak terjangkau logika. Karena ketakterjanggkauan rasio inilah maka kadang saya kehilangan atau lebih parah lagi sengaja menghilangkan rasio dalam memperjuangkannya.
Padahal -barangkali Ibu Teresa sadar betul- bahwa tak diperjuangkan pun ketika cinta datang tak ada satu hal pun dapat menghalanginya. Tidak lautan luas, tidak juga dinginnya antartika. Tidak jarak antar galaksi, apalagi cuma tebalnya dinding tembok besar di cina. Cinta akan datang begitu saja menghampirimu tanpa susah-susah diusahakan. Bahkan ketika cinta tak pernah menghampiripun harus diterima sebagai sesuatu yang wajar. Wajar karena misterinya.
Ibu Teres tentunya yakin, bahwa semua orang berhak memperjuangkan cintanya. Inilah kodrati sebagai manusia yang membedakan setiap orang dengan insting hewani. Insting hewani itu hanya berkaitan dengan persoalan ber-reproduksi untuk mempertahankan kehayatian. Karenanya sangat alamiah juga bahwa hewan kadang sangat hewani dalam memperjuangkan pasangannya dalam kebuasan ketika musim kawin tiba. Karenanya agar membedakan dari insting hewani maka seseorang harus sanggup membedakan mana pengalaman sungguh mencintai dan hasrat hanya untuk ber-reproduksi. Hewan tak butuh perangkat norma tertentu untuk ber-reproduksi. Sedangkan manusia dilintas waktu manapun, diruang belahan bumi manapun punya perangkat nilai social dalam mengatur hal ini. Jadi bolehkah menjadikan cinta sebagai alasan semu dan menabrak norma hanya agar dapat menyalurkan insting ber-reproduksi?
Hemat saya, bahwa cara memperjuangkan cinta haruslah penuh dengan kegembiraan dan semangat membebaskan. Kegembiraan dengan penuh rasa syukur bahwa karya misterius ini pun boleh dialami. Dan membebaskan berarti bahwa memberi kesempatan agar cinta itu datang atau bahkan tak pernah datang. Membebaskan berarti juga bahwa siapun yang kita cintai adalah peribadi yang lepas bebas menjadi dirinya sendiri. Membebaskan siapapun yang kita cintai dari hasrat hanya ingin memiliki apalagi menguasai.
Mungkin yang harus dilakukan adalah menjadi peribadi yang siap. Siap agar ketika ia datang, dapat kita terima dalam kegembiraan dan kebebasan. Dan ketika seseorang tak membalas perasaan kita mengiklaskannya. Ini juga ujian bagi ketulusan. Siap untuk mencintai dalam kerendahan hati.
Kragilan, 01 Juni '11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar