Suatu hari seorang tua mengunjungi sebuah toko material bahan bangunan. Kepada penjaga yang datang menyapanya pak tua ini berkata :
“Apakah ada makanan bebek?”
“ Maaf pak, kami tidak menjual makanan bebek.” Kata penjaga dengan santun.
Hari kedua, pagi-pagi benar penjaga toko dikagetkan. Ketika membuka toko didapatinya pak tua yang sama di depan tokonya.
“ Pagi bapak. Apa kabar pagi ini? Bapak cari apa? Bisa saya bantu?” Sapa penjaga toko dengan pertanyaan beruntun sepeti tembakan senapan mesin.
“Saya mencari makanan bebek. Ada?” Kata pak tua sambil tersenyum.
“Maaf bapak, ini toko material bahan bangunan. Bukan toko pakan ternak.” Kata penjaga sambil berusaha menahan amarahnya.
Hari ketiga. Saat matahari tengah terik-teriknya. Pak tua yang sama datang lagi dan menemui penjaga yang sama.
“Maaf nak. Ada makanan bebek?” Tanya pak tua sambil menyeka keringatnya.
“Apa? Makanan bebek lagi? Harus dijelaskan berapa kali si pak? Kalo tempat untuk makanan bebek, ada. Makanan bebeknya bapak beli di toko pakan ternak di seberang jalan sana.” Meledaklah amarah penjaga toko. Rupanya siang yang terik meruntuhkan daya tahan untuk mengontrol emosinya.
Hari keempat.kali ini agak sore. Ketika melihat pak tua ini bergegas memasuki tokonya, penjaga toko lansung menyambutnya dengan ketus.
“.Lama-lama tak pukul kepala bapak dengan LINGGIS. Ini kali keempat selama empat hari ini bapak kesini. Ini toko material. Bukan pakan ternak!!!!. Gak ada makanan bebek!!!”
Tak ada kesempata membela diri bagi pak tua. Sambil tersenyum pak tua meninggalkan toko material bahan bangunan itu tanpa kata-kata.
Hari kelima. Si bapak tua rese ini datang lagi ke toko material bahan bangunan yang sama. Karena terlihat sangat sibuk melayani pelanggan yang lain, pak tua mengurungkan niatnya untuk mengganggu sang penjaga toko.
“Apa ada LINGGIS?” Sapa pak tua pada penjaga toko saat ada kesempatan.
“Gaaaaaaaakkkkkk Aaaaaadddaaaaaaaa!!! “ Teriak penjaga toko dipuncak amarahnya.
“Kalau makanan bebek?”
“Semester ini nilaimu jeblok lagi. Dengan IP hanya 2,3 semester ini mungkin saya ga bisa bantu lagi untuk merekomendasikan perpanjangan beasiswamu”.
Kata-kata dosen pembimbing kelasku masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Saya tahu pak. Saya sadari itu. Semester kemarin dengan IP 2,8, saya beranikan diri menemui bapak. Memohon direkomendasikan untuk memperoleh beasiswa itu. Padahal syarat minimal IP untuk penerima beasiswa tersebut adalah 3,0. Saya juga janji sama bapak untuk mengejar IP semester ini minimal 3,0. Tapi kenyataannya saya hanya bisa di 2,3. Saya tahu ini mengecewakan bapak. Saya sendiri juga kecewa. Rasanya saya sudah berusaha dengan keras. Setiap pertemuan saya ikuti. Setiap tugas saya kerjakan. Kalau tidak mengerti bahan kuliah saya waktukan khusus tuk minta bimbingan dosen pengampuh. Saya sudah sediakan lebih banyak waktu tuk belajar lagi dan lagi.
Jika disemester kemarin waktu belajarku hanya 4 jam sehari, disemester ini akan saya tambah menjadi 6 hingga 8 jam sehari diluar jam kuliahku. Jika kemarin hanya membaca ulang bahan kuliah sebanyak 2 kali, semester ini akan saya tambah menjadi 6 kali.
Ini bukan hanya sekedar mengejar beasiswa ku. Lebih dari itu. Ini kesempatan tuk membuktikan diriku. Jauh-jauh dari Adonara ke Jogja, akan malu-maluin jika hanya pulang dengan IPK 2,4. Jika mereka bisa hingga 4,0, berarti saya juga bisa.
Saya sadari. Disemester kemarin saya sudah rajin belajar. Ketika teman-teman belum bangun, saya sudah bangun duluan tuk belajar. Ketika teman-teman sudah tidur saya masih bangun tuk membaca. Ketika teman-teman dolan setelah kuliah jam pertama, saya ke perpus sambil menunggu kuliah jam ketiga. SUDAH BELAJAR SEGIAT INIPUN IP HANYA 2,3, APALAGI JIKA TIDAK BELAJAR SAMA SEKALI?
Saya sadari. Kemampuan otak saya mungkin tidak sama seperti teman-teman lain. Hanya mendengar penjelasan dari dosen sekali saja mereka sudah mengerti materi yang dijelaskan. Saya sudah merekam pembicaraan dosen. Sampai memori computer tuaku penuh sesak dengan file rekaman setiap pertemuan setiap dosen setiap mata kuliah. Dengan rekaman itu saya punya kesempatan tuk memutar dan mendengarnya berulang-ulang. Itupun kadang masih belum paham. Karenanya saya masih juga harus membacanya berulang-ulang. Tapi rasanya juga masih sama saja.
Saya bahkan malu mengikuti tes untuk mengetahui berapa besar IQku. Takut terlalu rendah untuk seorang mahasiswa sepertiku. Mungkin lebih rendah dari perkiraan orang-orang bahkan perkiraanku sendiri. Rasanya setiap materi begitu sulit untuk dipahami.
Orang bilang ora et la bora. Belajar sambil berdoa. Saya bahkan merasa sudah lebih dari itu. Ketika orang-orang belajar sambil berdoa. Saya malah berdoa sambil belajar. Saya sudah mengucapkan doa saat belajar. Saya sudah belajar seperti orang tidak punya Tuhan dan berdoa seolah-olah hanya doa yang mampu menyelamatkan IPku. Bukan sok-sok alim. Atau narsis memuji diri sendiri. Tapi saya tahu tentang seberapa besar usaha saya.
Itupun IP ku masih 2,3 juga, se”belum pintar” inikah diriku? Karenanya harus lebih giat lagi disemester depan. Tak ada kesempatan tuk menyerah bagi ku. Sudah sejauh ini untuk menyerah begitu saja. Jika mereka bisa saya juga harus bisa. Bahkan jika mereka tidak bisa pun saya tetap harus bisa.
Sekali lagi ini bukan hanya sekedar untuk membuktikan diriku sebagai mahasiswa Adonara di Jogja yang harus pulang dengan IPK tinggi. Lebih dari itu. Jika hanya selesai kuliah dengan IPK tinggi saja saya ga bisa bagaimana saya nanti menghadapi kerasnya persaingan hidup yang sebenarnya setelah kuliah?
“ Maaf ka. Mungkin mulai saat ini kakak berhenti saja menungguku. Saya hanya mau jujur. Saya belum siap membangun hubungan dengan kakak”.
“Yah…dia menolakku”.
Perasaan ini, kukenali sama seperti sekitar 13 tahun silam. Saat itu seorang perempuan begitu sempurna dimataku. Ketika bertemu dengannya rasanya nyaman sekali. Perasaan yang dalam dan sulit didefenisikan.. Mengingatnya membawa kebahagiaan yang besar.
Sama dengan yang kualami saat ini. Perasaan yang sama. Tapi ini memberi rasa nyaman yang lebih dari yang pernah ada. Semua hal tentang nya itu menggembirakan. Barangkali ini yang orang katakana jatuh cinta.
Entalah. Ceritra hidup 13 tahun silam itu berbeda ketika dijalani. Itu hanya satu lembar dari sekian halaman sejarah hidup. Sayangnya diceritra itu, tak ada cukup kisah tuk memperjuangkan dan memenangkannya. Entah apa yang salah saat itu. Toh waktu yang berlalu itu tak mungkin bisa terkejar kembali.
Saat ini. Ia. Kenyataanya bahwa dia menolakku. Apapun alasanya itu tentu yang terbaik baginya. Bahwa setiap orang harus menjadi dirinya sendiri itu benar adanya.
Bukan bahwa itu berarti berhenti memperjuangkannya. Kenyataan bahwa saat ini dia tengah menjalin hubungan dengan seseorang. Tapi ini juga bukan menjadi alasan tuk berhenti mengusahakannya. Barangkali dia menolak karena memang tidak punya cukup perasaan suka padaku. Egois memang. Tapi tak akan berhenti hanya disini.
Jika sesuatu hal membuatku yakin, seyakin-yakinya bahwa itu memberiku rasa nyaman haruskah berhenti mengusahakannya? Jika yakinku bahwa itu membawa kebahagiaan dalam hidup haruskah menyerah?
Barangkali bahwa karena tidak cukup menyukaiku sehingga apapun yang ada padaku membuatnya ga nyaman. Dan ketidaknyamanan itu membuatnya terganggu. Gangguan itu tidak membuatnya senang. Ketidaksenangannya itu membuat dia semakin tidak menyukaiku. Mungkin ini menjadi lingkaran “tidak baik” yang berulang-ulang. Jika ini benar, haruskah membuatku berhenti?
Bukankah untuk membangun hubungan, seseorang harus memiliki landasan yang sangat kuat. Dasar dimana sanggup menutup opsi terhadap kemungkinan akan yang lain. Perasaan suka yang dalam yang membuatku tidak cukup alasan tuk menggantikannya dengan kesukaan yang lain. Jika saat ini terjadi haruskah berhenti.?
Tidak. Kalaupun dia tidak menyukaiku. Kalaupun saat ini dia tengah berhubungan dengan seseorang yang lain. Kalaupun dia menolakku lagi dan lagi, haruskah berhenti.?
Toh perasaanku ke dia yang dalam itu tidak membutuhkan alasan apapun untuk ada. Perasaan itu ada begitu saja. Tanpa ku undang. Tanpa susa-susah ku usahakan untuk datang. Perasaan itu ada begitu saja.
Ini semua hanya mengenai perasaan yang membuatku mengusahakannya sepenuh-penuh. Terdengar egois memang. Mungkin sangat egois. Tapi bukankan sesuatu yang membawa kebahagiaan itu patut diperjuangkan?
Bukankah muara dari kehidupan adalah kebahagiaan? Karena nya semua aliran perjuangan itu akan mengikuti alur-alur kehidupan hingga memuara pada kebahagiaan. Sama seperti air sungai yang dari hulu diam-diam menembus bebatuan. Air sungai yang harus berkelok-kelok menyiasati bukit agar bisa sampai kemuara. Ketika melewati bukit pasir, agar tidak kering air sungai mesti masuk kedalam dan dalam-diamnya merembesi bukit pasir tersebut dan mengalir kembali ke muara.
Maka maafkan aku jika perjuangan ku menuju pada mu memberi rasa tidak nyaman. Tapi inilah jalan yang kupilih. Diarah inilah tujuan ku. Aku tak akan bergeming. Tak akan bergeser walau hanya seinci. Menuju pada hari-harimu, dan menjadi bagian dalam kehidupanmu lah kebahagiaanku. Inilah yang memberiku alasan tuk memperjuangkan mu sepenuh-penuh.
Para sahabat ...
Pernakah berada pada posisi seorang dari ketiga ilustrasi diatas?
Anda dan saya mungkin pernah mengalami nya atau bahkan barangkali pernah menghadapi berbagai persoalan dilematis lainya.
Pak tua mungkin tak akan pernah mendapatkan makanan bebek di toko material bahan bangunan. Mahasiswa Adonara di Jogja mungkin tidak sanggup memperoleh IP 3,0 disemester berikutnya. Dan mungkin si pemuda itu akan mendapati cintanya bertepuk sebelah tangan, tak berbalas. Tapi apakah mereka berhenti memperjuangkannya?
Tak ada satupun kebaikan didunia ini yang instan. Sekecil apapun harus dimulai. Setelah dimulai harus dibiasakan. Tujuan hidup pun butuh diperjuangkan. Semakin berat perjuangan itu semakin berarti kelak untuk dipertahankan. Ada pepatah yang sangat klasik. easy come - easy going, bahwa yang instan datangnya akan pergi begitu saja dengan mudah.
Akan sangat berbeda jika pak tua mencari makanan bebek ke toko pakan ternak. Juga akan berbeda jika mahasiswa Adonara di Jogja itu selalu mendapat IP 4,0 disetiap semester kuliahnya. Dan akan berbeda jika sang pemudah lansung mendapat jawaban “Ia aku mau” sebelum mengutarakan perasaan pada gebetannya. Kisah apa yang pantas diceritrakan dari kemudaha-kemudahan seperti ini? Berapa banyak kisah yang memperburuk negeri ini hanya karena orang berlaku serba instan? Menghalalkan segala cara hanya untuk memperoleh kemudahan-kemudahan semu.
Ketika kita menemukan tujuan hidup kita masing-masing maka semua enersi mungkin harus kita kerahkan untuk mencapainya. Barangkali ketika ditengah jalan tujuan itu semakin menjauhi kita. Rasanya semakin berat pan panjang menuju padanya. Tapi inilah letak perbedaannya. Kepuasan batin seperti apa yang akan kita peroleh setelah mendapat buah manis dari hasil kerja keras, panjang dan melelahkan?
Sahabat
Yang membedakan orang berhasil dan yang belum berhasil hanyalah terletak pada seberapa keras mereka berusaha untuk mengejar tujuannya.
Apapun tujuan anda saat ini, sebesar apapun rintangan yang menghalangi apapun yang anda perjuangkan, kegigihanlah yang memberi perbedaan pada apapun hasilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar