“Bagaimanapun burung dengan warna seindah ini harusnya terbang bebas di alam liarnya. Seberapapun indah sangkar ini, seberapapun lebar dan luasnya sangkar ini tetap saja akan membelenggu kehidupan bebas burung ini.” Kata sang murid aktifis penyelamat kehidupan liar mendebat temannya yang memelihara burung di teras rumahnya. Apapun yang menjadi sanggahan sang teman, apapun alasannya, selalu saja sang aktifis menang adu argument dari pemelihara burung. Dan sang teman menyadari juga bahwa dia salah. Perdebatan tak berlanjut.
Sementara itu, seorang bijak musafir yang kebetulan lewat mendengar percakapan kedua mahasiswa tersebut menghampiri mereka dan menegur dengan santun. “ Benar nak. Bahwa burung itu harusnya hidup di alam liar. Terbang bebas kemanapun ia inginkan. Hinggap di sarang manapun yang ia kehendaki. Hinggap di dahan pohon manapun yang ia ingin singgahi.” Sang bijak musafir diam sebentar. Kemudian melanjutkan. “Tapi pernahkah ananda berdua pikirkan bahwa kesempatan bertahan hidup lebih besar mana antara sang burung ketika hidup di luar, di alam bebas dengan ketika hidup di dalam sangkar?” Kedua mahasiswa intelek dan penyayang binatang ini tertegun sampai – sampai tidak menyadari bahwa sang bijak musyafir telah berlalu pergi, meninggalkan mereka berdua. Menghilang entah kemana.
Ketika berada di dalam sangkar burung Nuri berwarna indah ini mendapat makanan yang layak. Terhindar dari bahaya kelaparan dan tak akan menderita gizi buruk atau busung lapar. Sangkar akan melindunginya dari cuaca ekstrim, hujan dan atau badai yang bisa saja merenggut kehidupannya. Bisa saja ketika di alam bebas sang burung akan dimangsa predator manapun, ataupun tewas ditangan seorang petembak jitu yang tergoda oleh indah warna bulunya.
Kali ini. Sang mahasiswa aktifis penyayang kehidupan liar kembali tertegun oleh pemikirannya sendiri.
Sahabatku.
Salah jika hidup adalah pilihan. Hidup dan mati adalah milik Sang Pencipta. Maka salah besar kalau kita mencoba mengakhiri hidup sebagai pilihan. Hidup memang bukan pilihan. Tapi mengisi hidup itulah, bagaimana menjalani kehidupan inilah yang adalah pilihan setiap kita.
Sebagai mahasiswa, kita pun dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk bagaimana menjalaninya. Begitu pula sebagai orang muda dalam tahapan pengenalan kesejatian diri, kita dihadapkan pada pilihian akan karakter – karakter mana yang akan kita dalami sebagai identitas pribadi kita.
Sebagai mahasiswa kita bisa saja memilih untuk bebas seperti burung dialam liar tanpa dibatasi oleh sangkar manapun. Kita bebas memilih menjadi apapun, menjalani kehidupan seperti apapun yang mau kita jalani. Tanpa hambatan. Tanpa dinding sangkar manapun yang menghambat kita. Atau kita pun bisa saja memilih untuk masuk dalam sangkar. Target akan nilai atau IPK tertentu, target akan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler tertentu, target akan lulus tepat waktu bisa saja menjadi sangkar-sangkar yang membatasi ruang gerak kita.
Semua pilihan, apapun itu pasti ada konsekuensinya. Kita bebas tidur dan bangun kapanpun yang kita inginkan. Lalu konsekuensinya kita mungkin terlambat kuliah jam pertama. Kita bebas untuk tidak berangkat kuliah yang konsekuensinya tak akan lulus mata kuliah tersebut sehingga harus mengulangnya. Kita bebas memilih tak ikut satupun kegiatan ekstrakurikuler sehingga kita tak punya banyak teman yang pada giliranya kita gagal mengenal dan menyesuaikan diri dengan karakter, sifat, kemauan, dan perbedaan yang mungkin kita temui dari perjumpaan kita dengan berbagai macam orang dan karakternya saat berorganisasi. Kita bebas membelanjakan uang kiriman orang tua, hasil kerja keras mereka, mati-matian untuk membiayai kuliah kita, yang konsekuensinya bisa saja kita kelaparan diwaktu tunggu pengiriman berikutnya. Kita bebas mengekploitasi kasih sayang orang tua dengan menipu mereka untuk mengirim tambahan uang guna menutupi ketakmampuan kita mengelolah uang kiriman, dengan konsekuensi kehilangan integritas diri, menjadi penipu. Kita bebas meracuni diri kita dengan rokok dan atau alckohol berlebihan padahal kita tahu bahwa itu pencetus sel kangker. Konsekuensi yang logis dan tak terhindarkan.
Ataupun kita bisa saja memilih untuk masuk kedalam sangkar. Target akan IPK tertentu menyita waktu main kita. Kita harus mengunakan waktu lebih banyak untuk belajar sehingga kita jarang sekali berkumpul dengan teman-teman. Kita lebih sering ke perpus dan membuang waktu tidur siang kita. Kita tidak bisa tidur dan bangun seenaknya karena harus teratur memilih jam belajar kita. Harus tidur lebih larut karena belajar dan harus bangun lebih pagi untuk mengejar kuliah jam pertama. Kegiatan - kegiatan ekstrakurikuler yang kita ikuti memang menjadikan kita bisa mengenal berbagai perbedaan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan setiap perbedaan akan mungkin banyak menyita waktu main kita. Kita harus menghemat uang kiriman yang sudah hemat hanya untuk mengisi apa yang kita butuhkan konsekuensinya bahwa banyak keinginan kita yang harus kita sisihkan. Tak bisa nonton bioskop, belum bisa makan pizza, belum bisa dugem, atau hanya sekedar PS-an bareng teman-teman karena memang harus menghemat uang kiriman kita. Konsekuensi logis dan tak terhindarkan.
Apapun yang kita pilih untuk dijalani, perbedaannya hanyalah terletak pada “hasil panen” seperti apa yang akan kita peroleh. Bagaimana pilihan-pilihan yang kita jalani dapat mendorong kita menuju tujuan kehidupan kita.
Sebagai orang muda, bisa saja kita memilih mengunakan kesempatan untuk bebas bergaul dengan siapapun, tanpa batasan apapun. Toh kita tidak diawasi orang tua kita yang tinggal dikampung. Kita bisa saja satu kos dengan pacar kita untuk menghemat uang kos kita. Kita bisa saja mengizinkan teman atau pacar kita untuk nginap dan melakukan apapun berdua, toh kita sudah besar. Konsekuensinya adalah mungkin kita mengecewakan orang tua yang mengharapkan kita untuk kuliah terlebi dahulu tapi kita sudah terlanjur bebas mengekspresikan insting reproduksi kita.. Kita mungkin belum siap tapi terpaksa memilih mengkarbitkan diri menjadi orang tua karena terlanjur punya anak. Kita bisa saja memilih “ah tidak apa – apa asal tidak mengandung”. Namun mungkin konsekuensi yang tak terhindarkan dari kebebasan kita ini yaitu rasa bersalah karena kehilangan kehormatan diri. Sesuatu yang sekali hilang tak akan kita dapatkan kembali. Yang menjadikan kita pribadi yang berbeda. Sama sekali lain dengan sebelumnya.
Ketika memilih menjaga kehormatan diri, sebagai pria dan juga wanita, kitapun dihadapkan pada konsekuensi tertentu yang tak terhindarkan. Pacar kita harus pulang ke kosnya ditengah hujan badai padahal bisa menginap. Ibu kos tidak pernah peduli kita menginapkan siapa, kita pun ingin dia menginap. Karena pulang kehujanan maka pacar kita bisa saja jatuh sakit. Kita bisa saja kecewa berat ketika pacar kita tak mau menuruti keingina kita untuk ‘melakukannya’ lalu kita merasa tidak diinginkan. Konsekuensinya kita tak kehilangan apapun.
Baik atau tidak nya sebuah pilihan sangat tergantung pada siapa yang menjalaninya. Setiap kita tidak harus sama. Karena perbedaan ukuran yang khas pada setiap pribadi. Pilihan yang baik bagi seseorang belum tentu baik juga bagi yang lainnya. IPK yang tinggi, aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler, mengenal banyak karakter, lulus tepat waktu, mungkin hanya baik bagi sebagian orang yang kemudian memilih mengusahakannya. Namun belum tentu baik bagi orang yang lain.
Begitu juga ketika memilih untuk bebas bergaul dengan siapapun. Mejalani kebebasan dengan siapa pun selagi masih muda tanpa aturan, tanpa malu, tanpa takut dengan siapapun atau apapun. Bebas sebebas-bebasnya menggunakan kehendak bereproduksi kita tanpa persiapan matang membangun keluarga baru mungkin juga bukan sesuatu yang tidak baik bagi sementara kita.
Hidup bebas dan atau tinggal didalam sangkar adalah pilihan karenanya masing-masing punya konsekuensi. Hidup bebas dan atau tinggal di dalam sangkar hanyalah pilihan ragawi. Kebebasan jiwa hanya kita peroleh ketika kita nyama berada dalam situasi manapun. Tidak menolak situasi manapun. Bukankah di alam bebas atau di dalam sangkar akan sama saja ketika jiwa kita nyaman tanpa penolakan? Kebebasan yang sejati bukan hanya sekedar “bebas untuk berkeinginan” namun lebih dari itu kebebasan sejati adalah “bebas dari berkeinginan”.
Karakter yang mau kita bangan dari pilihan-pilihan yang kita jalani menunjukan kesejatian kita, khas, pribadi demi pribadi. ( Kragilan, February 3, 2012 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar